Sebenarnya saya tidak begitu sepakat dengan adanya Karnaval yang ada di tempat saya, sebab dalam prosesnya begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan, mulai dari tenaga, waktu dan biaya.
Pertama, “Gerakan Tarian”.
Para anggota Karnaval harus menjalani latihan selama dua minggu ditiap malamnya. Saya kadang merasa kasihan, kepada peserta yang sudah berkeluarga, rela tidak istirahat padahal besoknya harus kerja cari uang. Namun, mereka abaikan semua itu, demi performa terbaik ketika hari H tiba.
Kedua, Kostum.
Untuk yang satu ini, ada banyak jenis kostum yang harga sewanya puluhan sampai ratusan ribu per-paket satuannya. Nah, di tempat saya termasuk yang paling murah sepanjang yang saya tahu. Para peserta membayar dengan harga seikhlasnya (Rata-rata sepuluh ribu) dan untuk kekurangannya, pamong-pamong dusun sudah siap membackupnya.
Oiya, di tempat saya, bukan menyewa, kostum yang dipakai bisa menjadi hak pakai permanent. Maka, harga berbanding lurus kualitas.
Ketiga, Sound system.
Di tempat saya, sound system adalah persoalan yang prestisius. Kemudian yang terjadi adalah, tiap grup Karnaval saling berlomba unjuk Audio menggelegar, demi dianggap “wah” oleh peserta yang lainnya. Dan, semua itu, harus dibayar dengan jumlah jutaan rupiah.
Keempat, Makna.
Sama sekali sekali saya tidak melihat subtansi Karnaval adalah untuk memperingati hari kemerdekaan. Tari-tarian tidak jelas, pamer kostum terbagus, dan sound system yang aduhai memekakkan telinga. Saya yakin semua itu menjelaskan tentang para pahlawan yang meregang nyawa melawan penjajah.
Namun, semua alasan saya di atas runtuh satu persatu, demi melihat wajah bahagia para peserta yang sungguh serius melewati tetek-bengek tahapan menuju Karnaval. Juga para penonton yang tampak ceria beserta anak-anaknya, yang mereka anggap Karnaval adalah, hiburan gratis yang terjadi satu tahun sekali. Dimata saya, pancaran keadaan seperti menjelaskan, bahwa semuanya sedang berusaha melepas lelah atas runyamnya hidup di pedesaaan.
![]() |
Doc: Pribadi |
Para anggota Karnaval harus menjalani latihan selama dua minggu ditiap malamnya. Saya kadang merasa kasihan, kepada peserta yang sudah berkeluarga, rela tidak istirahat padahal besoknya harus kerja cari uang. Namun, mereka abaikan semua itu, demi performa terbaik ketika hari H tiba.
Kedua, Kostum.
Untuk yang satu ini, ada banyak jenis kostum yang harga sewanya puluhan sampai ratusan ribu per-paket satuannya. Nah, di tempat saya termasuk yang paling murah sepanjang yang saya tahu. Para peserta membayar dengan harga seikhlasnya (Rata-rata sepuluh ribu) dan untuk kekurangannya, pamong-pamong dusun sudah siap membackupnya.
Oiya, di tempat saya, bukan menyewa, kostum yang dipakai bisa menjadi hak pakai permanent. Maka, harga berbanding lurus kualitas.
Ketiga, Sound system.
Di tempat saya, sound system adalah persoalan yang prestisius. Kemudian yang terjadi adalah, tiap grup Karnaval saling berlomba unjuk Audio menggelegar, demi dianggap “wah” oleh peserta yang lainnya. Dan, semua itu, harus dibayar dengan jumlah jutaan rupiah.
Keempat, Makna.
Sama sekali sekali saya tidak melihat subtansi Karnaval adalah untuk memperingati hari kemerdekaan. Tari-tarian tidak jelas, pamer kostum terbagus, dan sound system yang aduhai memekakkan telinga. Saya yakin semua itu menjelaskan tentang para pahlawan yang meregang nyawa melawan penjajah.
Namun, semua alasan saya di atas runtuh satu persatu, demi melihat wajah bahagia para peserta yang sungguh serius melewati tetek-bengek tahapan menuju Karnaval. Juga para penonton yang tampak ceria beserta anak-anaknya, yang mereka anggap Karnaval adalah, hiburan gratis yang terjadi satu tahun sekali. Dimata saya, pancaran keadaan seperti menjelaskan, bahwa semuanya sedang berusaha melepas lelah atas runyamnya hidup di pedesaaan.
Tag :
Gak Jelas