Istri saya adalah satu orang dari milyaran perempuan penduduk bumi
yang suka dengan nasi goreng. Senyum merekah dari bibirnya, kala ia menyambut nasi
goreng saya sepulang dari kerja.
“Aku kan lagi program diet, kenapa sich dibeliin nasi goreng terus”
Ucapnya sambil dengan khidmat meludeskan makanan penuh lemak terkutuk yang
membuat berat badannya makin bertambah.
Suatu malam, sepulang kerja sengaja tidak saya belikan makanan
kesukaannya itu.
Dan… Neraka seperti pindah ke rumah. istri saya mecucu saja
sepanjang malam. Alasannya, ya makanan durjana itu.
Baiklah, dari sini ada beberapa pola unik yang terjadi pada
pengalaman saya di atas.
Pertama, keinginan istri yang menjalankan program diet yang
semenjak melahirkan tubuhnya berkembang subur.
Kedua, tentu saja saya, suaminya yang harus mendukung apapun yang
menurut dia baik.
Hari ini, saya bertemu dengan salah seorang teman yang bercerita
tentang bentuh tubuhnya istrinya yang gembrot. Berbanding terbalik ketika dulu
masih pengantin baru. Lebih dari itu, teman saya bahkan ketika lajang amat muak
dengan perempuan yang bertubuh gemuk. Dia pun mewajibkan dirinya, kelak dia
harus menikah dengan perempuan yang bertubuh langsing.
Namun semuanya berubah setelah istrinya hamil. Standar kecantikan
semasa remaja dulu luluh lantak demi melihat istri yang kelak akan melahirkan
buah hatinya.
Bokong yang tidak lagi semok dan susu yang kendor tak jadi soal,
asalkan istri sehat wal afiat.
Begitulah, waktu mengubah segalanya.
Lebih-lebih paska melahirkan. Istri harus makin banyak makan demi
terjaganya stamina dan kualitas ASI. Dan lagi-lagi suami mempersetankan
kekhawatiran akan bertambah lebarnya tubuh istri.
Kembali pada teman saya itu. Kini anaknya sudah mulai beranjak
dewasa dan sudah tidak minum ASI lagi. Yang ngASI ganti ayahnya. Bentuk tubuh
istri menumbukahan kecemasan. Lalu ia membicarkan persoalan dengan sang
istri. Umpan bersambut baik, tanpa disadari suami, seorang istri jauh lebih
faham dengan apa yang ia rasakan pada tubuhnya. Sejatinya seorang perempuan
selalu ingin tampil cantik dihadapan siapapun dan di manapun.
Upaya-upaya perampingan tubuh pun dimulai oleh teman saya itu. Dia membelikan
istrinya alat pembakar lemak yang dilingkarkan pada perutnya saya tidak tahu
apa nama alat itu lagian harganya jutaan coy. Makanan-makanan rendah lemak ia
rekomendasikan untuk istrinya. Yang pasti bukan jenis obat pelangsing tubuh
yang iklannya ada di mana-mana itu. Teman saya meyakini, obat adalah bahasa
lain dari “Pembunuhan”.
Berbagai macam cara dilakukan demi terciptanya tubuh ideal. Namun
semua itu bukan hal yang mudah. Pola makan istri yang sudah terbiasa dengan
porsi dan jumlah yang “lumayan” adalah siksaan jika harus mengubahnya.
Lalu program olah raga, teman saya itu juga meyakini, satu-satunya
hal yang sehat dalam urusan membasmi lemak hanya keluarnya keringat dengan olah
raga. Dan program ini pun mengalami kegagalan, sebab selain waktu untuk buah
hati yang berkurang adalah rasa malas bangun pagi begitu besar menimpa.
Intinya segala upaya agar istrinya langsing dan sehat ambyar semua.
Dan akhirnya, teman saya itu pun pasrah dalam sebenar-benarnya
kepasrahan. Kecantikan baginya hanyalah persoalan yang fana. Cantik tidak hanya
diukur dari gemuk dan langsingnya seorang perempuan. Cantik yang sebenarnya adalah
dari dalam inner beauty, bukan dari luar, yang wajah putih lah, yang
rambut lurus lah atau yang bertubuh langsing lah semua itu tidak abadi dan
hanya sementara.
“Percuma cantik, kalau cerewetnya minta ampun. Percuma cantik,
kalau SDMnya rendah”
Begitulah teman saya mengakhiri ucapannya. Dikedalaman matanya saya
seolah melihat ia tengah menjerit dalam kesunyian.
Oiya, cerita di atas saya reduksi dengan cerita rumah tangga saya
sendiri. Semacam kombinasi cerita sebab pola, alur dan peristiwanya nyaris
sama.
Demikian, sudah saatnya pulang ke rumah, dan penjual nasi goreng di
sudut pasar itu tampaknya juga sudah mulai mengantuk.
Tag :
Artikel