Tentang persoalan, peristiwa dan puing-puing pemikiran yang runtuh dalam ingatan.

Perpisahan

Pagi-pagi sekali ada pesan WA dari seorang teman. Dia pamit mau pulang ke tempat asalnya, kalimantan.
Di pesan itu, dia juga nitip salam ke teman-temannya yg lain, yg barangkali dia tidak bisa menyampaikannya langsung sebab tidak punya kontak WA, atau mungkin karena sebab yang lain, entahlah...

Teman saya itu, asalnya dari Kalimantan Barat, Pontianak dan mondok di Kab. Malang. Dan di Pesantren itulah saya kenal kemudian dekat dengan dia.
Kami mondok di Pesantren yang sama, dengan selisih waktu mondok terpaut sekitar dua tahun. Lebih senior saya tentu saja. Hingga kemudian saya boyong, menikah lalu punya anak, si teman saya itu tetap mengabdikan diri pada Pesantren.
Kalau tidak salah hitung, dia berada di Pondok Pesantren sekitar 15 tahun dengan jumlah kepulangan ke Pontianak yang bisa dihitung dengan jari alias beberapa kali saja ia Pulang ke kampung halamannya.
Dan hari ini, dia pamit pulang untuk yang terakhir kalinya.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan teman saya itu. Di antara teman-teman saya yang lain, yang juga berasal dari garis Katulistiwa, adalah hal biasa bagi mereka tidak pulang selama bertahun-tahun -Sementara santri lokal bisa pulang tiap liburan Pesantren-, bahkan ada santri yang mondok selama 11 tahun dan pulang hanya sekali.
Memang, di Pesantren tempat saya nyantri, yang santrinya didominasi dari KALBAR punya kebijakan, bagi santri Pontianak, hanya diperbolehkan pulang tiga tahun sekali. Seingat saya, dulu, kebijakan itu lahir atas pertimbangan sosial dan ekonomi. *entah sekarang peraturan itu masih berlaku apa tidak.
Kembali pada teman saya yang satu itu. Saya tahu persis dengan rekam jejaknya selama di Pesantren. Dia, sosok yang "maju" di antara santri yang lain. Dia santri "mbeling" dan "pintar" dalam satu dimensi yang bersamaan.
Dia pernah kabur dari Pesantren dan menjadi buronan keamanan pondok karena merokok.
Padahal dengan rokoknya, menurut pengakuannya dia bisa menyelesaikan khataman Al-Fiah.
Sementara teman-temannya yang lain sedang mengaji kitab, si teman saya itu justru mengaji "winning eleven" di rental PS yang tidak jauh dari Pesantren.
Ketika tengah malam, ketika santri pada umumnya tengah lelap dengan tidurnya, si Teman saya itu justru terjaga dengan mata berbinar. Biasanya, dia menghabiskan malam dengan hafalan nadlom atau amalan-amalan wirid yang sesudahnya dia akan mengendap-ngendap menuju Musholla untuk... Ah, sudahlah...
Sewaktu sekolah SMA (Sekolah Madrasa Aliyah) teman saya itu pernah mengenakan kopyah hitam yang tinggi sekali. Hingga kemudian, salah seorang guru yang tempramen dengan nada keras, mengintruksikan untuk memotong kopyahnya atau tidak usah sekolah. Dan, teman saya itu memilih opsi yang kedua.
Ada banyak kesan dari teman saya yang kurus karena tirakatnya itu. Beberapa bulan belakangan, kami "dekat kembali". Sosoknya yang dulu "mbeling" itu hilang ditempa zaman. Dia mulai nampak lebih dewasa. Terutama dalam bersikap, gestur tubunya mirip seorang "Gus" Kepala MADIN. Gaya bicaranya, juga berbeda. Eh, maksudnya juga sama seperti "gus" itu, nampak bijak sekali...
Dari cerita-ceritanya. Selama kami berpisah, teman saya itu, selama, sekitar tiga tahun telah menunaikan misi penting dari Pesantren: Tugas, menyerukan dakwah di tiga tempat yang berbeda. Sekitar satu tahun di satu tempat. Madura, madura dan bengkulu.
Dan saya mengasumsikan, perubahan itu didapatkan dari tugasnya di luar pesantren.
Menurut bisik-bisik, pula dia sedang mendalami ilmu sufistik. Kita tahu, dunia sufisme itu ujiannya sangat berat. Saya yakin itu, setelah teman saya itu menangis sesenggukan sambil bercerita, bahwa dia sedang jatuh cinta. Dan tentu saja kalian tahu akhirnya seperti apa. Nasib macam apa yang dialami oleh seorang lelaki yang menangis karena cinta.
Maka, betul sekali ucapan seorang bijak bestari: Pada akhirnya, semua akan berpisah. Entah diambil Tuhan atau diambil orang...

Tag : Gak Jelas
Back To Top