Saya bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala sebab hingga kini saya dikelilingi oleh guru-guru yang sabar. Juga dikelilingi oleh teman-teman yang berprofesi sebagai guru yang sabar. Banyak pula yang secara non formal—untuk tidak mengatakan "dipaksa keadaan"—menjadi guru yang sabar.
Saya teringat ucapan alm. Kiai Khozin Yahya, sebagaimana diriwayatkan secara marfu' oleh Pak Hosen Jakarta, bahwa "tidak ada yang lebih tawakal ketimbang para guru." Konteks ucapan ini adalah dorongan beliau kepada Pak Hosen agar mengajar, apapun yang bisa diajarkan kepada masyarakat, di tengah kesibukannya bekerja berburu rejeki.
Dan selanjutnya, akan kuceritakan salah seorang teman yang secara non formal menjadi guru sabar itu. Cukup satu saja, sebab bila kuceritakan semuanya, habis waktuku hanya untuk menuliskan mereka. Cukup satu saja.
Sebut saja nama guru sabar itu sebagai Rohim Warisi (nama samaran). Dia tidak secara formal mengajar di sekolah atau di madrasah. Kesibukan sehari-harinya adalah menyuting orkes dangdut koplo atau mengawasi toko foto kopiannya atau, kalau sedang luang, bermain biliard sambil mengumbar sumpah serapah.
Lalu, seperti petir di siang bolong, keadaan memaksanya untuk mengajar secara non formal, menyeretnya untuk membimbing domba-domba yang tersesat. Keadaan membuatnya tidak bisa berkutik.
Tersebutlah seorang pemuda, sebut saja namanya Ahmad Rudi (juga nama samaran), tiba-tiba datang ke rumah kontrakan Rohim tanpa alasan yang bisa dicantol akal sehat. Rohim tentu menerima Rudi datang ke kontrakan tempat dia bekerja, sebagaimana semua tuan rumah akan melakukannya. Rudi dibiarkannya menginap di situ selama berhari-hari.
Rudi datang dengan membawa tanda tanya besar di benak Rohim: kenapa jiwa orang ini? Seiring pertanyaan itu berputar-putar di kepala Rohim, siapa nyana, jawabannya kelak menuntunnya pada kenyataan bahwa Rudi adalah domba yang tersesat, yang harus dia bimbing sebagaimana Yesus menuntun Bani Israel ke kerajaan Tuhan.
Kenyataan itu Rohim dapatkan di suatu malam yang sendu. Di saat mereka berdua, Rohim dan Rudi, hanya berdua dikontrakan, ditemani oleh suara kodok dari ruang tamu (serius, di ruang tamu ada kodok!), Rudi akhirnya mengungkapkan alasannya memepet dan mendekati Rohim terus.
Para pembaca tentu bisa menebak apa alasan itu, bukan? Betul, itu adalah masalah cinta. Cinta!
Rudi adalah pemuda yang hatinya dikoyak-koyak oleh cinta. Ribuan luka menganga lebar di dinding hatinya. Selama beberapa hari itu dia linglung, jiwanya pun limbung.
Cinta pertamanya berakhir dengan pengkhiatan. Gadis yang dipujanya main serong dengan lelaki lain. Dan yang lebih menyiksa, lelaki itu adalah temannya sendiri. Rudi murka, juga merana. Kenyataan itu membuatnya kehilangan asa selama berhari-hari. Tak sanggup dia menjalani hidup dengan beban sedemikian lara.
Tapi Rudi akhirnya bangkit. Dia berhasil mengembalikan kebugaran jiwanya seperti semula, meski tak pernah dia mungkir, masih tersisa onak yang menusuk-nusuk di hatinya. Tapi tak jadi soal, Rudi masih sanggup menjalaninya.
Lalu datanglah peristiwa itu. Kini tumbuh kembali cinta di hatinya kepada gadis yang tidak disangka-sangkanya. Ibarat badai, cinta baru itu membuatnya menggigil ketakutan. Kenapa cinta datang di saat yang tidak diinginkan? Jeritnya dalam gumam.
Dan badai itu benar-benar menghantamnya tanpa ampun. Cintanya bertepuk sebelah tangan dan ditolak dengan tanpa harapan. Bila dulu ribuan luka menganga di hatinya, kini hatinya adalah potongan-potongan kecil yang telah dicincang oleh duka. Bila dulu dia linglung, kini jiwanya tinggal selangkah lagi jadi gila. Hidup baginya adalah perjalanan yang suram, dan dunia sungguh tempat yang muram.
Mendengar pengakuan Rudi itu, awalnya Rohim mau menghindar. Pantang baginya ikut mencampuri urusan orang lain. Tapi tak bisa. Berbagai cara sudah dia lakukan untuk menghindar, kesimpulannya mengarah pada satu terang-benderang: Rohimlah yang bertugas memulihkan jiwa Rudi.
Dan tugas itu, tugas semulia itu, Rohim hadapi dengan sabar. Oleh karena yang dia hadapi adalah orang yang nyaris gila, dia memilih cara penyembuhan yang juga tak kalah gila.
Pertama, Rohim beritikad membunuh harapan cinta di dada Rudi. Bukan apa-apa, orang seringkih Rudi belum layak mengemban suatu amanah, lebih-lebih amanah cinta. Oleh karena itu, Rohim dengan segenap cara menikam harapan cinta yang bercokol di hati Rudi, bahkan kalau perlu dengan cara yang keji.
Alhamdulillah, cara itu berhasil. Sekarang Rudi tidak lagi memburu cintanya. Bahkan menyebut-nyebut gadis pujaannyapun kini dia ogah. Namun dengan segenap kerendahan hatinya, Rohim tetap berpendapat bahwa bukan dirinya yang memadamkan harapan cinta itu, melainkan keadaan yang mengelilingi Rudilah pelakunya. Tanpa Rohim tiuppun, kenyataan bahwa cinta Rudi ditolak akan memadamkannya dengan sendirinya. Rudi seharusnya menyadarinya sejak semula, demikian Rohim berpikir.
Langkah kedua adalah membangkitkan rasa percaya diri Rudi. Bila dulu Rudi selalu murung dan kerap mimpi buruk di kala tidur, kini harus diupayakan agar dia ceria kembali seperti sedia kala. Dan Rohim dikaruniai bakat di bidang ini. Rohim punya talenta menghibur jiwa-jiwa labil yang merana. Buktinya banyak dan mudah didapat. Lihat saja status-status FB lamanya antara tahun 2009-2012, ada banyak di situ.
Dengan bakat yang Rohim sadari betul itu, Rudi akhirnya bangkit dari keterpurukan. Namun, lagi-lagi, selayaknya guru yang baik dan sabar, hasil itu Rohim anggap bukan karena bakat dan talentanya, melainkan karena dalam jiwa Rudi bercokol suatu spesies kegilaan tertentu. Kemurungan yang dialami Rudi karena spesies itu sempat tidur, dan keriangan yang tampak di muka Rudi saat ini tidak lain karena saat ini spesies itu sedang terjaga bugar.
Lalu ketiga, langkah Rohim adalah membiasakan kegiatan positif pada Rudi. Di titik inilah Rohim merasa betul-betul terpanggil. Tidak ada cara lain, dia harus turun tangan sebab bisa dipastikan tidak ada potensi apapun yang bisa diharapkan dari Rudi agar melakukannya sendiri.
Menurut pengamatan Rohim, selama ini Rudi telah menghabiskan waktu untuk hal-hal yang percuma. Bisa dibilang, hampir mendekati kebiasaan sampah masyarakat. Sehari-semalam bisa dia habiskan tanpa melakukan apapun. Ini tentu tidak baik. Mereka yang berjiwa sehat menghabiskan waktunya untuk hal-hal positif dan produktif. Dan inilah langkah Rohim selanjutnya: mengajak Rudi agar jadi manusia berguna.
Dengan kesabaran yang sulit dibayangkan, Rohim menuntun Rudi agar menulis sistematis dan runtut. Bila kepingin tahu bagaimana tulisan Rudi, tak perlu jauh-jauh, lihat saja tulisannya di FB tahun-tahun ke belakang, akan kau lihat tulisan yang sarat cacat logika (logical fallacies), penuh salah ketik (typo), minim kosakata, tak taat tatabahasa (grammatically errors), dan berbagai cacat kebahasaan lainnya. Bila semua ciri cacat itu tidak ditemui dalam tulisan Rudi, bisa dipastikan tulisan itu adalah hasil salin-tempel dari Google.
Bayangkan, butuh berapa galon kesabaran untuk mengajari orang seperti itu untuk menulis. Tapi Rohim melakukannya.
Di samping tulis-menulis Rohim juga mengajak Rudi memasuki dunia yang digelutinya: videografi. Tentu Rohim tidak mengajak Rudi syuting dangdut koplo. Sekali-kali tidak akan. Rohim membuat semacam video klip lagu dengan Rudi sebagai bintangnya. Dengan sabar, Rohim menuntun Rudi agar berpose di depan kamera video. Dan seperti yang sudah diperkirakan Rohim, Rudi menghadapi kamera seperti menghadapi polisi lalu lintas saat tidak pakai helm, panik disertai keringat deras di dahi. Namun, dengan kesabaran yang penuh sifat kebapakan, Rohim membimbing Rudi. Hasilnya bisa dilihat di Youtube.
Namun jangan dikira semua lancar semata. Amat banyak aral merintang di hadapan Rohim dalam membimbing anak didiknya yang baru itu. Tidak jarang Rohim mendapat kata tidak senonoh nan tengil dari Rudi. “Anda ini anilisisnya dangkal sekali!” kata Rudi, di suatu pagi, dengan pongah. Di kesempatan lain, Rohim dikatai “primitif” atau “provokator” oleh Rudi karena alasan yang entah apa.
Hanya saja, seperti sudah dijelaskan di muka, tidak ada guru yang tak siap dengan hal itu. Dikatai apapun oleh Rudi, Rohim tetap pada komitmennya mendidik dan membimbing domba yang tersesat satu itu. Itu sudah panggilan jiwanya. Tidak ada komitmen yang lebih hebat ketimbang komitmen yang didasari oleh panggilan jiwa.
Demikianlah kisah salah seorang teman yang menjadi guru sabar.
Kemarin, di sebuah senja yang jingga, saya mengunjungi kontrakan Rohim, sekadar untuk tegur sapa atau beranjangsana. Di situ Rohim dan Rudi rupanya sedang menanak nasi bareng. Karena diajak ikut makan, tentu sulit saya tolak.
Di kontrakan itu juga hadir banyak teman lain: Nilam Tanjung, Soedai Daudai, Yahya Maksum, dan Sahrul All Athoz (semuanya pun nama samaran). Sayangnya Sahrul dan Nilam tidak bisa ikut makan, sebab sedang menjalankan gerakan infiltrasi di sebuah madrasah. Ya sudah, makan bareng sore itu hanya dilakukan kami berlima.
Di tengah makan, saya bertanya pada Rohim, “Sampean kok sabar banget sih mendidik Rudi, Cak?”
Yang minimpali rupanya Rudi: “Justru saya yang tidak sabar padanya,” lalu dia tertawa dengan congkak.[]
Oleh: M. Hilal
Tag :
Gak Jelas